Mau tahu kapan Ekta berubah menjadi
bocah yang menyebalkan? Ketika ia sudah mulai mengerjai Sonya atau aku. Ekta
kalau sudah merasa bosan dengan aktifitasnya di rumah, ia bisa berubah menjadi
super duper menyebalkan. Kadang pun ia masih bisa merengek bak anak kecil (eh
dia kan memang anak-anak ya?
Ekta pernah mengagetkanku waktu aku
sehabis mengambil wudhu di kamar mandi dan keluar sambil berteriak histeris
karena melihat satu muka kingkong nyengir di hadapanku. Iya, itu Ekta! Aku baru
sadar setelah aku menutup muka kemudian mendengar suara orang tertawa lantang
tiada henti. Ekta menertawakanku sejadi-jadinya. Rupanya kegagetanku barusan
benar-benar membahagiakan hidupnya. See,
Ekta juga bisa menyebalkan bukan?
Yang paling parah dan satu kali
Ekta membuatku marah total saat ia menaruh cicak karet di dalam helm ku. Ekta
tahu aku benci binatang itu, benci, benar-benar benci. Tapi sialnya, ia sukses
besar membuatku berteriak lagi seperti orang kesurupan ketika tanpa sengaja aku
kejatuhan cicak karet sialan itu sesaat sebelum memasang helm di kepala.
Gara-gara kejadian itu, Ekta dimarahi dokter Anna, mamanya dan kemudian disuruh
meminta maaf kepadaku.
“Aimi, sorry ya. Kemarin Cuma
bercanda kok,” Ekta meminta maaf padaku sambil nyengir-nyengir tak menyesal.
Tapi
bercandamu kelewatan, Nak!
Aku masih diam, tak menjawab
permintaan maafnya. Ia mendekat dan duduk di sampingku.
“Please, Aimi. Aimi kan baik,
cantik pula,” Ia mengedipkan sebelah matanya. Genit.
Sial,
belajar dari mana sih anak ini ngerayu.
“Oke dimaafkan, tapi jangan
diulangi lagi ya.” Akhirnya aku buka suara, menjawab dengan datar.
“Oke Aimi, salaman dulu ya,” ia
menyodorkan tangannya. Tanpa curiga kubalas menggenggam tangan kecil itu. Tapi kok berasa dingin dan lengket?
“Oh, God! Ektaaaaaaaa. Awas kamu yaaaa!!!”
Ekta melepas genggamannya tiba-tiba dan kemudian lari sambil tertawa, ia sukses
mengerjaiku dengan cicak karet kampret
ini untuk yang kedua kalinya. Aku melempar cicak karet itu ke dinding, segera
berlari ke wastafel untuk mencuci tangan sambil bergidik jijik.
***
Sekarang sudah hampir dua bulan aku
tidak bertemu Ekta, karena aku baru saja menyelesaikan proyek penelitian
bersama tim peneliti dari perkumpulan Alumni kampusku dulu. Karena proyek itu
juga aku harus izin di tempat praktek dokter Anna, untung ada asisten pengganti
sementara.
Rasanya sudah kangen berat sama
Ekta, denger-denger dari mamanya sih Ekta sempat kelimpungan nyari aku selama
masa izin itu. Ekta sudah mau masuk SMP
deh ya kayaknya? Soalnya bulan lalu ujian nasional tingkat SD baru saja digelar.
Aku memarkir motorku di tempat
biasa. Dokter anna menjemputku di teras, nampak antusias. Mungkin sudah kangen
berat sama asistennya ini.
“Duh, kangen banget saya sama
asisten kayak kamu, Mee,” Tuh kan, bener!
“Hehe, dokter bisa aja” aku tersipu,
nyengir dan ge-er karena sudah dikangenin. Kira-kira
Ekta kengen juga gak, ya?
“Ekta sama Sonya mana, dok?”
“Sonya ada tuh di kamar, lagi
nonton Barbie sama sepupunya. Kalau Ekta sudah dianter tuh.”
Diantar?
Apa maksud dokter Anna kalau Ekta sudah diantar? Diantar kemana? “Dianter
kemana maksud nya dok?”
“Loh kamu nggak tau yah, Ekta
sekarang masuk asrama di SMP Budi
Bhangsa, jadi baru bisa pulang enam
bulan lagi.”
Jelaslah
aku baru tahu sekarang, memangnya aku update berita Ekta setiap hari? Duh, tapi
kok rasanya aku kayak baru kehilangan satu barang yang penting setelah
mendengar statment itu ya?
“Oh iya, Ekta ada nitip surat sama
kado gitu buat kamu, Aimee. Sebentar ya, saya ambil dulu.” Dokter Anna lalu
meninggalkanku di Teras. Aku masih menuggu, enggan beranjak. Beberapa menit kemudian dokter Anna
kembali dengan membawa surat beserta satu kotak kado kecil dengan bungkus
berwarna perak, “Ini Aimee, silahkan baca aja dulu. Saya tunggu di ruang
praktek ya, kita kerja bersama lagi hari ini.” Aku menyambut surat dan kado
kecil itu dan membuka perlahan amplopnya.
Aimi, aku pindah sementara dulu yaa, nanti kita ketemu lagi. Terimakasih
selama ini Aimi sudah mau ngebantuin aku. Maaf juga kalau aku sering jahilin
Aimi, Salam damai.
Love You, Aimi.
Sampai bagian ini aku masih
terharu, tapi note kecil dibawahnya membuatku sedikit runtuh.
Note : Aimi, kayaknya aku lagi suka sama temenku deh, namannya Jasmine,
dia pintar main piano, dan aku seneng ngintip dari jendela kalau dia sedang
main piano di ruang kesenian. Sttt, jangan bilang sama mama ya Aimi, besok
Jasmine ulang tahun. Bisa kan kasih kado yang Aimi pegang sekarang sama dia?
Thanks Aimi. *Aimi pasti baik hati mau bantu aku.
Aku tersenyum menyadari ternyata
seorang Ekta sudah remaja sekarang, sudah bisa naksir cewek juga. Tapi
pede banget sih bocah ini bilang aku
pasti mau bantu dia. Isshhh, siapa dia coba? Yang lagi suka sama Jasmine kan dia, kenapa jadi aku yang repot?
Aku tiba-tiba membatin tak keruan, tapi kenapa aku harus sewot? Aku menimang
kado kecil ini lagi, menerka-nerka, jangan-jangan isinya ketupat pita
warna-warni juga. Oke, besok aku akan memberikan kado ini kepada Jasmine-nya
Ekta itu.
Aku kembali tersadar setelah
membaca surat itu untuk yang kedua kalinya, Ekta terlalu tidak pintar untuk
menulis surat perpisahan, mana ada isi notenya lebih panjang ketimbang isi
suratnya sendiri. Payah. Tapi akhirnya aku tertawa sendiri sambil beranjak
masuk ke ruang praktek dokter Anna. Sumringah. Perasaan itu pun luruh seketika,
perasaan itu berhenti bermain-main
disini, dihatiku.