Senin, 08 April 2013

Untittle Part II

     “Aimi, aku ingin bertanya PR matematika ini. Bisa bantu nggak?” Ekta tiba-tiba masuk ruang praktek mamanya yang kebetulan memang jam praktek malam ini sudah habis, kemudian menghampiriku yang masih sibuk mensterilkan alat.
          Sebelum aku menjawab, dokter Anna sudah menyela “Aunty Aimee, Ekta. Namanya Aunty Aimee, kamu nggak sopan kalo panggil ‘Aimi’ seperti itu lagi.” Ekta menunduk. “Lagian Aunty sedang sibuk, kamu belajar sendiri dulu ya.”
        “Nggak apa-apa, dok. Sebentar lagi saya selesai, nanti saya bantu Ekta,” Aku menjawab ringan, membela Ekta.
           “Nanti kamu pulang kemalaman loh, Aimee. Biar saja Ekta nanti saya yang bantu.”
        “Sekali lagi nggak apa-apa, dok, biar saya bantu Ekta sebentar,” aku meyakinkan dokter Anna dengan tatapan tenang-aja-saya-bisa-dan-tidak-terbebani-sama-sekali.
         Dokter Anna mengangkat bahu sambil menghela nafas seolah berkata terserah kamu saja lah. Ekta tersenyum puas seolah senyumnya itu pun menterjemahkan kalimat Thanks, Aimi. Kamu baik banget  deh. Oke berlebihan, kalimat terakhir itu hanya terjemahan bodohku saja.
      Aku hampir lupa menceritakan kalau Ekta sering kali memintaku membantunya mengerjakan PR atau menemaninya belajar sebentar dikala pasien mamanya sedang sepi atau sehabis praktek. Selama aku bisa sih, selama tidak sedang sibuk juga, lumayan bisa mendekatkan diri sama bocah ganteng itu.
***
          Kalian mungkin tahu perasaanku ini hanya perasaan kesepian biasa, oke kasarnya “jomblo ngenes” yang membuatku sedikit sinting, sehingga bisa menyukai anak 12 tahun seperti Ekta. Dan kalian juga mungkin yakin, kalau saja aku sudah bertemu seorang “sosok” yang benar-benar aku cari, aku tidak akan menjadi kurang waras seperti ini lagi kan? Iya kan? Jadi jangan pernah mengira aku seorang pedofil ya. Thanks, ini hanya perasaan main-main.
***
        Namun terkadang Ekta pernah membuat perasaaku ini seperti bukan perasaan main-main, perasaan gila yang semakin merambat di hati. Seolah-olah perasaan suka itu benar-benar mencengkram dan memenuhi isi kepala. Sempat terfikir ingin rasanya aku berubah menjadi bocah seumuran Ekta, biar kita bisa tumbuh bersama. Tapi itu nyatanya TIDAK AKAN PERNAH MUNGKIN!
         Hari itu, aku sudah memanaskan motor segera beranjak pulang. Sedangkan Ekta baru saja pulang dari sekolahnya, ia menuruni mobil dengan wajah riang seperti biasa.
          “Aimi, jangan pulang dulu. I have a special gift for you. Kata mama, Aimi ulang tahun hari ini kan?”
          Oh Tuhan, aku bahkan lupa hari ini aku ulang tahun. Ekta berjalan ke arah motorku, aku enggan turun, kubiarkan saja ia yang mendekat. Entah special gift apa yang ia maksud, spekulasi bermunculan. Jangan-jangan anak ini mau mengerjaiku. Kadang Ekta sumpah bisa sangat menyebalkan!
          “Apa?” aku hanya menanyai Ekta dengan tiga huruf singkat itu. Tumben aku sok judes.
       “Coba lihat deh, aku tadi bikin ini di sekolah buat Aimi. Khusus buat ulang tahun Aimi.” Ekta memamerkan ketupat mini yang terbuat dari anyaman pita warna-warni. Disusun seperti tersambung dengan seutas tali, membentuk untaian ketupat-ketupat mini beraneka ragam warna.
          Aku ternganga, terpaku sebentar. Mengingat-ingat, apakah ini sedang bulan Ramadhan dan esoknya mau lebaran? Tapi seingatku tidak, dan ramadhan pun masih lima bulanan lagi. Lalu apa hubungan ketupat dengang ulang tahun?
        “Bingung ya, Aimi?” Ekta menanyaiku seolah dapat membaca isi kepalaku. Aku hanya mengangguk. “Ulang tahun kan identik dengan sesuatu yang warna-warni, Aimi. Tadi aku ada pelajaran keterampilan menganyam ketupat dari pita, kebetulan aku ingat Aimi hari ini ulang tahun. Jadi aku bikinkan ketupat warna-warni ini sebagai kado untuk Aimi”
         Aku masih melongo, masih tidak mengerti. Tapi tiba-tiba Ekta membalikkan untaian ketupat itu dengan arah sebaliknya, ternyata oh ternyata dibalik ketupat (yang sebelumnya arahnya menutup ke arah badan Ekta) itu ada tulisan HAPPY BIRTHDAY AIMI. Ditulis menggunakan spidol berwarna hitam dengan huruf kapital yang miring-miring khas tulisan Ekta.
        Aku menutup wajah, sedikit terharu. Anak ini benar-benar menyihirku, “Makasih banyak ya,  Ekta. Kadonya bagus banget.”
       “Yeah, bagus dong pasti. Apa yang aku bikin pasti bagus.” Ekta mulai narsis, membanggakan hasil prakarya ketupatnya itu. Aku tertawa seraya membatin, “Ekta, kenapa kita nggak lahir barengan aja sih?”

2 komentar:

  1. Salah woi itu....
    "apa" - itu bukan 3 kata, tapi 3 huruf :p
    Satu lagi, coba deh baca sekali lagi. Penggunaan kata lebay, coba diganti dengan "berlebihan" terdengar lebih pas sama pemilihan diksimu.


    hahahhahhaha
    aku calon editor kayanya nih :p

    BalasHapus
  2. oiaaa, bagus baguss, nanti di kroscek lagi yaa bu editor.. maksih
    goo editing hhha

    BalasHapus