“Aimi, aku ingin bertanya PR
matematika ini. Bisa bantu nggak?” Ekta tiba-tiba masuk ruang praktek mamanya
yang kebetulan memang jam praktek malam ini sudah habis, kemudian menghampiriku
yang masih sibuk mensterilkan alat.
Sebelum aku menjawab, dokter Anna
sudah menyela “Aunty Aimee, Ekta. Namanya Aunty Aimee, kamu nggak sopan kalo
panggil ‘Aimi’ seperti itu lagi.” Ekta menunduk. “Lagian Aunty sedang sibuk,
kamu belajar sendiri dulu ya.”
“Nggak apa-apa, dok. Sebentar
lagi saya selesai, nanti saya bantu Ekta,” Aku menjawab ringan, membela Ekta.
“Nanti kamu pulang kemalaman loh,
Aimee. Biar saja Ekta nanti saya yang bantu.”
“Sekali lagi nggak apa-apa, dok, biar saya bantu Ekta sebentar,” aku meyakinkan dokter Anna dengan tatapan tenang-aja-saya-bisa-dan-tidak-terbebani-sama-sekali.
“Sekali lagi nggak apa-apa, dok, biar saya bantu Ekta sebentar,” aku meyakinkan dokter Anna dengan tatapan tenang-aja-saya-bisa-dan-tidak-terbebani-sama-sekali.
Dokter Anna mengangkat bahu
sambil menghela nafas seolah berkata terserah
kamu saja lah. Ekta tersenyum puas seolah senyumnya itu pun menterjemahkan
kalimat Thanks, Aimi. Kamu baik banget deh. Oke berlebihan, kalimat terakhir itu hanya
terjemahan bodohku saja.
Aku hampir lupa menceritakan
kalau Ekta sering kali memintaku membantunya mengerjakan PR atau menemaninya
belajar sebentar dikala pasien mamanya sedang sepi atau sehabis praktek. Selama
aku bisa sih, selama tidak sedang sibuk juga, lumayan bisa mendekatkan diri
sama bocah ganteng itu.
***
Kalian mungkin tahu perasaanku ini hanya perasaan kesepian biasa, oke kasarnya “jomblo ngenes” yang membuatku sedikit sinting,
sehingga bisa menyukai anak 12 tahun seperti Ekta. Dan kalian juga mungkin
yakin, kalau saja aku sudah bertemu seorang “sosok” yang benar-benar aku cari,
aku tidak akan menjadi kurang waras seperti ini lagi kan? Iya kan? Jadi jangan
pernah mengira aku seorang pedofil ya. Thanks, ini hanya perasaan main-main.
***
Namun
terkadang Ekta pernah membuat perasaaku ini seperti bukan perasaan main-main,
perasaan gila yang semakin merambat di hati. Seolah-olah perasaan suka itu
benar-benar mencengkram dan memenuhi isi kepala. Sempat terfikir ingin rasanya
aku berubah menjadi bocah seumuran Ekta, biar kita bisa tumbuh bersama. Tapi
itu nyatanya TIDAK AKAN PERNAH MUNGKIN!
Hari itu, aku sudah memanaskan
motor segera beranjak pulang. Sedangkan Ekta baru saja pulang dari sekolahnya,
ia menuruni mobil dengan wajah riang seperti biasa.
“Aimi, jangan pulang dulu. I have
a special gift for you. Kata mama, Aimi ulang tahun hari ini kan?”
Oh Tuhan, aku bahkan lupa hari
ini aku ulang tahun. Ekta berjalan ke arah motorku, aku enggan turun, kubiarkan
saja ia yang mendekat. Entah special gift apa yang ia maksud, spekulasi
bermunculan. Jangan-jangan anak ini mau mengerjaiku. Kadang Ekta sumpah bisa
sangat menyebalkan!
“Apa?” aku hanya menanyai Ekta
dengan tiga huruf singkat itu. Tumben aku
sok judes.
“Coba lihat deh, aku tadi bikin
ini di sekolah buat Aimi. Khusus buat ulang tahun Aimi.” Ekta memamerkan
ketupat mini yang terbuat dari anyaman pita warna-warni. Disusun
seperti tersambung dengan seutas tali, membentuk untaian ketupat-ketupat mini
beraneka ragam warna.
Aku ternganga, terpaku sebentar.
Mengingat-ingat, apakah ini sedang bulan Ramadhan dan esoknya mau lebaran? Tapi
seingatku tidak, dan ramadhan pun masih lima bulanan lagi. Lalu apa hubungan
ketupat dengang ulang tahun?
“Bingung ya, Aimi?” Ekta
menanyaiku seolah dapat membaca isi kepalaku. Aku hanya mengangguk. “Ulang
tahun kan identik dengan sesuatu yang warna-warni, Aimi. Tadi aku ada pelajaran
keterampilan menganyam ketupat dari pita, kebetulan aku ingat Aimi hari ini
ulang tahun. Jadi aku bikinkan ketupat warna-warni ini sebagai kado untuk Aimi”
Aku masih melongo, masih tidak
mengerti. Tapi tiba-tiba Ekta membalikkan untaian ketupat itu dengan arah
sebaliknya, ternyata oh ternyata dibalik ketupat (yang sebelumnya arahnya
menutup ke arah badan Ekta) itu ada tulisan HAPPY BIRTHDAY AIMI. Ditulis
menggunakan spidol berwarna hitam dengan huruf kapital yang miring-miring khas
tulisan Ekta.
Aku menutup wajah, sedikit
terharu. Anak ini benar-benar menyihirku, “Makasih banyak ya, Ekta. Kadonya bagus banget.”
“Yeah, bagus dong pasti. Apa yang
aku bikin pasti bagus.” Ekta mulai narsis, membanggakan hasil prakarya
ketupatnya itu. Aku tertawa seraya membatin, “Ekta, kenapa kita nggak lahir barengan aja sih?”
Salah woi itu....
BalasHapus"apa" - itu bukan 3 kata, tapi 3 huruf :p
Satu lagi, coba deh baca sekali lagi. Penggunaan kata lebay, coba diganti dengan "berlebihan" terdengar lebih pas sama pemilihan diksimu.
hahahhahhaha
aku calon editor kayanya nih :p
oiaaa, bagus baguss, nanti di kroscek lagi yaa bu editor.. maksih
BalasHapusgoo editing hhha