Selasa, 09 April 2013

Untittle Part III (Last Part)

     Mau tahu kapan Ekta berubah menjadi bocah yang menyebalkan? Ketika ia sudah mulai mengerjai Sonya atau aku. Ekta kalau sudah merasa bosan dengan aktifitasnya di rumah, ia bisa berubah menjadi super duper menyebalkan. Kadang pun ia masih bisa merengek bak anak kecil (eh dia kan memang anak-anak ya?
     Ekta pernah mengagetkanku waktu aku sehabis mengambil wudhu di kamar mandi dan keluar sambil berteriak histeris karena melihat satu muka kingkong nyengir di hadapanku. Iya, itu Ekta! Aku baru sadar setelah aku menutup muka kemudian mendengar suara orang tertawa lantang tiada henti. Ekta menertawakanku sejadi-jadinya. Rupanya kegagetanku barusan benar-benar membahagiakan hidupnya. See, Ekta juga bisa menyebalkan bukan?
     Yang paling parah dan satu kali Ekta membuatku marah total saat ia menaruh cicak karet di dalam helm ku. Ekta tahu aku benci binatang itu, benci, benar-benar benci. Tapi sialnya, ia sukses besar membuatku berteriak lagi seperti orang kesurupan ketika tanpa sengaja aku kejatuhan cicak karet sialan itu sesaat sebelum memasang helm di kepala. Gara-gara kejadian itu, Ekta dimarahi dokter Anna, mamanya dan kemudian disuruh meminta maaf kepadaku.
     “Aimi, sorry ya. Kemarin Cuma bercanda kok,” Ekta meminta maaf padaku sambil nyengir-nyengir tak menyesal.
     Tapi bercandamu kelewatan, Nak!
     Aku masih diam, tak menjawab permintaan maafnya. Ia mendekat dan duduk di sampingku.
     “Please, Aimi. Aimi kan baik, cantik pula,” Ia mengedipkan sebelah matanya. Genit.
     Sial, belajar dari mana sih anak ini ngerayu.
     “Oke dimaafkan, tapi jangan diulangi lagi ya.” Akhirnya aku buka suara, menjawab dengan datar.
     “Oke Aimi, salaman dulu ya,” ia menyodorkan tangannya. Tanpa curiga kubalas menggenggam tangan kecil itu. Tapi kok berasa dingin dan lengket? 
     “Oh, God! Ektaaaaaaaa. Awas kamu yaaaa!!!” Ekta melepas genggamannya tiba-tiba dan kemudian lari sambil tertawa, ia sukses mengerjaiku  dengan cicak karet kampret ini untuk yang kedua kalinya. Aku melempar cicak karet itu ke dinding, segera berlari ke wastafel untuk mencuci tangan sambil bergidik jijik.
***
     Sekarang sudah hampir dua bulan aku tidak bertemu Ekta, karena aku baru saja menyelesaikan proyek penelitian bersama tim peneliti dari perkumpulan Alumni kampusku dulu. Karena proyek itu juga aku harus izin di tempat praktek dokter Anna, untung ada asisten pengganti sementara.
     Rasanya sudah kangen berat sama Ekta, denger-denger dari mamanya sih Ekta sempat kelimpungan nyari aku selama masa izin itu. Ekta sudah mau masuk SMP deh ya kayaknya? Soalnya bulan lalu ujian nasional tingkat SD baru saja digelar.
     Aku memarkir motorku di tempat biasa. Dokter anna menjemputku di teras, nampak antusias. Mungkin sudah kangen berat sama asistennya ini.
     “Duh, kangen banget saya sama asisten kayak kamu, Mee,” Tuh kan, bener!
     “Hehe, dokter bisa aja” aku tersipu, nyengir dan ge-er karena sudah dikangenin. Kira-kira Ekta kengen juga gak, ya?
     “Ekta sama Sonya mana, dok?”
     “Sonya ada tuh di kamar, lagi nonton Barbie sama sepupunya. Kalau Ekta sudah dianter tuh.”
     Diantar? Apa maksud dokter Anna kalau Ekta sudah diantar? Diantar kemana? “Dianter kemana maksud nya dok?”
     “Loh kamu nggak tau yah, Ekta sekarang masuk  asrama di SMP Budi Bhangsa, jadi baru bisa  pulang enam bulan lagi.”
     Jelaslah aku baru tahu sekarang, memangnya aku update berita Ekta setiap hari? Duh, tapi kok rasanya aku kayak baru kehilangan satu barang yang penting setelah mendengar statment itu ya?
     “Oh iya, Ekta ada nitip surat sama kado gitu buat kamu, Aimee. Sebentar ya, saya ambil dulu.” Dokter Anna lalu meninggalkanku di Teras. Aku masih menuggu, enggan beranjak. Beberapa menit kemudian dokter Anna kembali dengan membawa surat beserta satu kotak kado kecil dengan bungkus berwarna perak, “Ini Aimee, silahkan baca aja dulu. Saya tunggu di ruang praktek ya, kita kerja bersama lagi hari ini.” Aku menyambut surat dan kado kecil itu dan membuka perlahan amplopnya. 
 Aimi, aku pindah sementara dulu yaa, nanti kita ketemu lagi. Terimakasih selama ini Aimi sudah mau ngebantuin aku. Maaf juga kalau aku sering jahilin Aimi, Salam damai.
Love You, Aimi.
     Sampai bagian ini aku masih terharu, tapi note kecil dibawahnya membuatku sedikit runtuh.
Note : Aimi, kayaknya aku lagi suka sama temenku deh, namannya Jasmine, dia pintar main piano, dan aku seneng ngintip dari jendela kalau dia sedang main piano di ruang kesenian. Sttt, jangan bilang sama mama ya Aimi, besok Jasmine ulang tahun. Bisa kan kasih kado yang Aimi pegang sekarang sama dia? Thanks Aimi. *Aimi pasti baik hati mau bantu aku.
     Aku tersenyum menyadari ternyata seorang Ekta sudah remaja sekarang, sudah bisa naksir cewek juga. Tapi pede banget sih bocah ini bilang aku pasti mau bantu dia. Isshhh, siapa dia coba? Yang lagi suka sama Jasmine kan dia, kenapa jadi aku yang repot? Aku tiba-tiba membatin tak keruan, tapi kenapa aku harus sewot? Aku menimang kado kecil ini lagi, menerka-nerka, jangan-jangan isinya ketupat pita warna-warni juga. Oke, besok aku akan memberikan kado ini kepada Jasmine-nya Ekta itu.
     Aku kembali tersadar setelah membaca surat itu untuk yang kedua kalinya, Ekta terlalu tidak pintar untuk menulis surat perpisahan, mana ada isi notenya lebih panjang ketimbang isi suratnya sendiri. Payah. Tapi akhirnya aku tertawa sendiri sambil beranjak masuk ke ruang praktek dokter Anna. Sumringah. Perasaan itu pun luruh seketika, perasaan itu berhenti bermain-main disini, dihatiku.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar